Scarlett O’Hara
Bulan kemarin ada tiga buku yang ku baca yakni, Agama Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono, Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Scarlett karya Alexandra Ripley. Dari ketiganya, Scarlett adalah novel yang pengin banget
ku bahas. Sangking ngebetnya baca, novel setebal 800 halaman lebih ini ku lahap
hanya dalam waktu 5 hari. Jadi selama liburan ada sekitar 5-7 jam per hari mantengin
buku yang mirip-mirip bantal ini. Oke, lebih tepatnya antara ngebet baca atau
kurang kerjaan.
Sacrlett merupakan
sekuel Gone with The Wind karya
Margareth Mitchell. Bagi yang sudah membaca atau menonton Gone with The Wind pasti ingat di akhir cerita Rhett memilih pergi
meninggalkan Scarlett. Pada saat itu pula Scarlett sadar akan kenaifannya, gadis
itu sebenarnya sangat mencintai suaminya sendiri, Rhett Butler. Nah, novel Scarlett yang berakhir bahagia bisa
diibaratkan semacam obat sakit hati untuk para penikmat Gone with The Wind. Novel yang berjudul sama dengan nama tokoh
utamanya, Scarlett, bercerita mengenai
perjuangan Scarlett O’Hara mendapatkan kembali sang suami sekaligus tanah
leluhur O’hara hingga ia menemukan jati dirinya.
Banyak hal yang berubah dalam diri Scarlett, terutama karakternya yang
jauh berbeda antara Scarlett di Gone with
The Wind dan Scarlett di Scarlett.
Scarlett dalam Gone with The Wind
adalah seorang gadis cantik pujaan para laki-laki, sosok manja, egois,
pendengki, kekanakan, pelanggar norma, dan gila akan pesta. Scarlett termasuk jenis orang yang tahu cara membuat dirinya dicintai namun tidak tahu cara
mencintai. Sedangkan sifat baiknya, dia tipe perempuan pekerja keras, bahkan
kemampuannya dalam bekerja melebihi sebagian para laki-laki, terutama
menyangkut bisnis. Satu lagi sifat Scarlett yang bagi saya menarik, dia sama
sekali tidak peduli dengan semua omong kosong orang-orang di sekitarnya.
Karakter Scarlett yang tanpa basa-basi seperti ini tentu saja membuat para
wanita di sekelilingnya sering bergunjing tentang dirinya. Scarlett dianggap
perempuan tidak tahu malu, tidak tahu sopan santun, pembangkang, penentang
adat, penghianat, penggoda suami orang, dan label mengerikan lainnya. Amerika
bagian selatan pada masa perang saudara memang belum ada aturan kesetaraan gender, perilaku Scarlett yang terlalu
bebas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, tentu saja menjadi bahan olok-olok
para wanita. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, Scarlett sama sekali tidak
peduli hingga akhirnya ia dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
Dalam novel Scarlett, sosok
Scarlett mengalami perubahan karakter yang cukup kentara. Hal ini bermula saat
ia mulai putus asa dengan Rhett dan memutuskan untuk berkunjung ke rumah
kakeknya di Savannah. Di kota itu Scarlett mulai mengerti asal sifat lembut dan
anggun mendiang ibunya. Kakek Robillard, ayah dari ibunya, merupakan laki-laki
kaya raya, terhormat, yang menerapkan banyak aturan di rumahnya. Pantas saja
mendiang ibunya begitu anggun dan bersikap seperti perempuan dewasa seutuhnya.
Sejak dulu memang Scarlett merasa iri dan bertanya-tanya mengapa mendiang
ibunya bisa begitu lembut, anggun, terhormat, dan penuh kasih bak malaikat
sedangkan dirinya tidak? Lalu suatu hari Scarlett bertemu dengan keluarga garis
keturunan ayahnya, para O’hara, di Savannah. Dari mereka Scarlett akhirnya
menemukan sebab segala sikap dan sifat dirinya yang selama ini menjadi bahan
gunjingan masyarakat. Ya, karakter Scarlett yang berapi-api dan loyal rupanya merupakan
warisan dari keluarga O’Hara. Ini kali pertama Scarlett merasa diterima dan
bahagia menjadi diri sendiri, bersama mereka Scarlett benar-benar menikmati
hidup tanpa harus takut dihakimi. Ia menjadi pribadi yang telah mengenal akan
jati dirinya.
Tanpa disadari saat di Savannah Scarlett berjalan menuju akar dirinya.
Selain itu perubahan karakter Scarlett juga dipengaruhi oleh tanggung jawab
yang harus diemban dan banyaknya masalah yang datang silih berganti. Saat di
Irlandia Scarlett mendapat surat perceraian dari suaminya, dikabarkan pula
Rhett telah menikahi seorang gadis baik-baik. Scarlett benar-benar hancur saat
itu, apalagi tanpa sepengetahuan Rhett ia tengah mengandung anak mereka.
Setelah mendapat surat perceraian dari sang suami
ia mengakui bahwa ini merupakan salahnya sendiri. Ini memang kali pertama Scarlett tidak menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidunya. Scarlett pun memutuskan untuk
merawat anaknya seorang diri. Ia membeli tanah leluhurnya di Irlandia dan
diangkat menjadi seorang pemimpin kaum O’Hara. Kewajiban menjadi pemimpin
sekaligus seorang ibu membuat cara berpikir Scarlett lebih matang dan penuh
kasih. Kelahiran anaknya mengajarkan Scarlett cara mencurahkan kasih sayang, ia
akhirnya tahu caranya mencintai orang selain dirinya. Suatu perubahan yang
signifikan mengingat Scarlett yang dulu sangat membenci anak kecil, bahkan kedua
anaknya sendiri sering tak ia perhatikan.
Selain itu, kedudukannya sebagai seorang pemimpin membuatnya belajar
untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri. Ia belajar berbagi, mengalah, berkompromi,
dan hidup untuk orang lain. Seperti yang ia lakukan untuk kaumnya, saat terjadi
bencana gagal panen, ia membagikan sembako untuk kaumnya supaya tak kelaparan. Hingga
suatu ketika Scarlett tahu ini saatnya ia harus merelakan Rhett. Sikap semacam
itu tentu sangat berbeda dengan Scarlett yang dulu, yang melakukan segala cara
agar bisa mendapatkan Ashley meskipun laki-laki itu merupakan suami adik
iparnya sendiri. Kini Scarlett tahu dirinya sangat mencintai Rhett dan ia belajar mencintai dengan cara melepaskan Rhett.
Perlu diingat, Scarlett tetaplah Scarlett, ia tetap seorang perempuan
yang energik, pekerja keras, blak-blakan, tangkas, dan cerdas. Hal inilah yang membuat
para laki-laki takluk padanya yang seorang janda beranak satu dengan usia
kepala tiga. Bedanya, kalau dulu ia akan menyambut semua laki-laki yang
mendekatinya, sekarang ia selektif dan lebih mementingkan anaknya.
Kehidupan Scarlett tak ubahnya seperti perjalanan seseorang menuju
kedewasaan. Untuk menjadi bijak, Scarlett harus mau menempuh perjalanan.
Perjalanan menuju dirinya sendiri dan perjalan ke luar dirinya. Dengan begitu Scarlett
lebih mengenal jati dirinya sekaligus mengenal lingkungan di luar dirinya. Apabila
kedua perjalanan itu seimbang, didapatlah banyak kacamata baru, berbagai sudut
pandang baru, yang menjadikan Scarlett lebih bijak dalam beberapa hal. Pilihannya
untuk menerima lamaran bangsawan Inggris bagi saya juga salah satu bukti bahwa Scarlett
belum sepenuhnya bijaksana, rupanya masih jauh perjalanan hidup yang mesti
ditempuh untuk menjadi lebih bijak.
Akhirnya, meskipun novel Scarlett
merupakan lanjutan dari Gone with The
Wind namun rasanya aneh ketika tahu kedua novel tersebut karya dari orang
yang berbeda. Seperti yang sudah disebutkan di awal, novel Scarlett seperti obat sakit hati bagi mereka yang merasa kecewa
dengan akhir Gone with The Wind. Jadi,
kebahagiaan setelah membaca Scarlett terasa kurang nyata karena kemunculan novel
tersebut kesannya juga agak dipaksakan.
0 komentar: