Pulang ke Solo
sumber gambar: Surakarta.go.id |
Dua tahun yang lalu aku
meninggalkan kota Surakarta atau yang akrab disapa Solo. Lima setengah tahun
aku menetap di Solo untuk studi S-1 dan S-2, kemudian setelah lulus aku pindah
ke Surabaya untuk bekerja. Lalu kemarin, di siang yang tak begitu terik aku
kembali mengelilingi kota Solo dengan sepeda motorku. Sepanjang perjalanan dari rumah (Kawasan Solo
Baru) ke RS Moewardi, lalu ke daerah kampus UNS, hingga kembali lagi ke Solo
Baru, senyumku terus merekah mengingat kembali masa-masa yang telah lalu.
“Ternyata Solo masih sama,” batinku. Ya, setelah hampir dua tahun aku tinggalkan
rupanya Solo tak banyak berubah. Hanya saja mungkin kali ini aku bisa lebih
objektif menilainya setelah setahun lebih hidup di Surabaya.
Solo masih
tetap Solo yang pada siang hari berderetan toko dan dealer motor yang apabila
malam menjadi tempat lesehan para penikmat nasi liwet, kopi angkringan, susu
segar, atau wedhang ronde. Solo masih
tetap Solo yang para pengendara motornya masih selow-selow, segalanya berjalan tanpa ada kesan terburu-buru.
Beberapa orang masih bisa berjalan di tepi jalan raya dan di beberapa sudut
anak-anak bermain tanpa alas kaki. Banyak ku lewati pendopo khas Jawa Tengah
yang merupakan bangunan kelurahan. Kalimat bertuliskan aksara Jawa juga masih
sering ku jumpai. Deretan hijau pepohononan masih kokoh menaungi jalan raya
pusat kota. Masih dengan Pasar Gede yang merupakan Kawasan Pecinan, Pasar
Kliwon yang identik dengan Kawasan keturuan Arab, dan Pasar Legi yang
rasa-rasanya sangat khas dengan penduduk asli Solo.
Ternyata
lampu bangjo (istilah lampu lalu
lintas) di belakang kampus UNS tetap belum berfungsi sebagaimana mestinya.
Motor dan mobil masih berseliweran pelan meskipun warna lampu berubah merah.
Warung banyumasan Mbok Was di Ngoresan masih belum berubah, bagian depan masih
berupa tembok kayu dan bambu dengan atap seng. Leter U, tempat berkumpulnya
jasa fotokopi masih ajeg juga. Mahasiswa berlalu lalang di sekitar situ membawa
tumpukan kertas fotokopi. Komputer jasa fotokopian juga masih model lama yang
harus dibarengi kesabaran ekstra ketika menggunakannya. Bayar parkir masih bisa
Rp 1000—Rp 1500.
Warung-warung
makan juga masih mematok harga khas Solo yang apabila orangtua temanku dari
luar kota/luar Jawa datang akan berkata,
“Lho kok nggak mahal? Jadi selama ini uang saku yang Mamak kasih kau apakan?”
Lalu temanku akan tergeragap karena akhirnya ketahuan juga uang saku mereka
selama ini berlebihan. Solo masih tetap sederhana, adem, kalem, dengan ritme
hidupnya yang pelan namun pasti, dan dengan sejuta kesyahduannya apabila sore
datang menjemput malam. Bahkan temanku dari Jogja suatu hari untuk pertama
kalinya datang ke Solo lalu berujar, “Panteslah kamu masih aja cupu, beda
banget sama sepupu kamu yang gaul itu.” Sangking dia memandang suasana Solo
terlampau sederhana dan tidak sehingar-bingar yang ia duga.
Di balik
segala kesederhanaan Solo, percayalah justru itu yang membuat para pendatang
betah dan merindukan kota ini. Seperti aku yang masih tetap merasa bahwa Solo
adalah kota paling nyaman di dunia. Lalu ternyata Tuhan memutuskan untukku
kembali pulang ke Solo. Pulang bersama perasaan damai lebih dari sebelumnya. Akhirnya
aku pulang.
7 komentar: