Pulang ke Solo

23.23 Titi Setiyoningsih 7 Comments


sumber gambar: Surakarta.go.id

Dua tahun yang lalu aku meninggalkan kota Surakarta atau yang akrab disapa Solo. Lima setengah tahun aku menetap di Solo untuk studi S-1 dan S-2, kemudian setelah lulus aku pindah ke Surabaya untuk bekerja. Lalu kemarin, di siang yang tak begitu terik aku kembali mengelilingi kota Solo dengan sepeda motorku.  Sepanjang perjalanan dari rumah (Kawasan Solo Baru) ke RS Moewardi, lalu ke daerah kampus UNS, hingga kembali lagi ke Solo Baru, senyumku terus merekah mengingat kembali masa-masa yang telah lalu. “Ternyata Solo masih sama,” batinku. Ya, setelah hampir dua tahun aku tinggalkan rupanya Solo tak banyak berubah. Hanya saja mungkin kali ini aku bisa lebih objektif menilainya setelah setahun lebih hidup di Surabaya.

Solo masih tetap Solo yang pada siang hari berderetan toko dan dealer motor yang apabila malam menjadi tempat lesehan para penikmat nasi liwet, kopi angkringan, susu segar, atau wedhang ronde. Solo masih tetap Solo yang para pengendara motornya masih selow-selow, segalanya berjalan tanpa ada kesan terburu-buru. Beberapa orang masih bisa berjalan di tepi jalan raya dan di beberapa sudut anak-anak bermain tanpa alas kaki. Banyak ku lewati pendopo khas Jawa Tengah yang merupakan bangunan kelurahan. Kalimat bertuliskan aksara Jawa juga masih sering ku jumpai. Deretan hijau pepohononan masih kokoh menaungi jalan raya pusat kota. Masih dengan Pasar Gede yang merupakan Kawasan Pecinan, Pasar Kliwon yang identik dengan Kawasan keturuan Arab, dan Pasar Legi yang rasa-rasanya sangat khas dengan penduduk asli Solo.

Ternyata lampu bangjo (istilah lampu lalu lintas) di belakang kampus UNS tetap belum berfungsi sebagaimana mestinya. Motor dan mobil masih berseliweran pelan meskipun warna lampu berubah merah. Warung banyumasan Mbok Was di Ngoresan masih belum berubah, bagian depan masih berupa tembok kayu dan bambu dengan atap seng. Leter U, tempat berkumpulnya jasa fotokopi masih ajeg juga. Mahasiswa berlalu lalang di sekitar situ membawa tumpukan kertas fotokopi. Komputer jasa fotokopian juga masih model lama yang harus dibarengi kesabaran ekstra ketika menggunakannya. Bayar parkir masih bisa Rp 1000—Rp 1500. 
Warung-warung makan juga masih mematok harga khas Solo yang apabila orangtua temanku dari luar kota/luar Jawa datang akan  berkata, “Lho kok nggak mahal? Jadi selama ini uang saku yang Mamak kasih kau apakan?” Lalu temanku akan tergeragap karena akhirnya ketahuan juga uang saku mereka selama ini berlebihan. Solo masih tetap sederhana, adem, kalem, dengan ritme hidupnya yang pelan namun pasti, dan dengan sejuta kesyahduannya apabila sore datang menjemput malam. Bahkan temanku dari Jogja suatu hari untuk pertama kalinya datang ke Solo lalu berujar, “Panteslah kamu masih aja cupu, beda banget sama sepupu kamu yang gaul itu.” Sangking dia memandang suasana Solo terlampau sederhana dan tidak sehingar-bingar yang ia duga.

Di balik segala kesederhanaan Solo, percayalah justru itu yang membuat para pendatang betah dan merindukan kota ini. Seperti aku yang masih tetap merasa bahwa Solo adalah kota paling nyaman di dunia. Lalu ternyata Tuhan memutuskan untukku kembali pulang ke Solo. Pulang bersama perasaan damai lebih dari sebelumnya. Akhirnya aku pulang.

7 komentar: