CATATAN PINGGIR 1
Surabaya, 30 Mei 2018
Aku kelelahan.
Sepulang kerja, seusai salat ashar, aku milih tidur dan bangun-bangun udah jam 17.00. Pikirku, ya udah hari ini buka puasa di kos aja sama eyang kos atau ke mushola dekat kos. Rencana keliling hari ini juga nggak mungkin terlaksana karena motorku lagi rewel dan nginep di kos teman (baca: Mba Kinanti). Seusai magrib, sekembalinya dari mushola, makan nasi kotak dan roti di ruang tv. Waktu itu hanya aku, Mba Daisy, dan Eyang Upik. Sekitar habis isa, Eyang Toto keluar kamar, niatnya mau mandi, tapi parkir dulu di depan tv. Kedatangan Eyang Toto membawa obrolan yang super panjang. Aku lupa awalnya, pembicaraan kami melebar ke segala penjuru. Ini mengingatkanku pada Eyang Yoto (bapak kos di Solo), ternyata karakter mereka hampir sama. AKu jadi merasa nyaman ketika ngobrol tentang berbagai topik. Seingatku pembicaraan kami dimulai dari basa-basi ringan tentang menu berbuka, kegiatanku akhir-akhir ini, juga tentang tempat wisata. Lalu topik obrolan mengarah ke kisah konflik Madura-Kalimantan. Apalagi Eyang Toto pernah di Kalimantan Tengah selama 4 tahun, jadi beliau bisa cerita beberapa hal penyebab konflik dan penyelesaiannya. Dari kisah itu berlanjut ke cerita ilmu gaib, keris, sampai sejarah kerajaan Singosari. Dari Singosari kami meluncur ke sejarah keraton Solo-Jogja, sampai huru-hara Tionghoa. Banyak hal yang kami bicarakan, tidak terarah memang, tapi aku jadi punya sudut pandang baru mengenai suatu hal. Obrolan kami ditutup dengan isu politik dan sejarah perkembangan politik singkat.
Oke, sebenarnya bukan obrolan sih, lebih
tepatnya aku yang nyimak cerita Eyang Toto. Ada jeda ketika es blewah kami
berdua habis, Eyang Toto harus mandi, dan aku melanjutkan chit-chat sama Mbak Daisy dan Eyang Upik. Tak berapa lama Eyang
Toto muncul lagi dengan penampilan lebih fresh setelah mandi. Kami melanjutkan pembicaraan tentang bisnis, kiat
berwirausaha, dan Eyang Toto memberi beberapa tips menarik kepadaku. Sekitar
pukul 22.00, aku pamit terbang ke lantai 2 menuju kamarku. Sebelum aku take off Eyang Toto bertanya, “Punya
buku harian?
Ku jawab, “Punya, Yang, tapi sekarang udah jarang nulis.”
“Tulis tentang ini ya, kan jarang ngobrol banyak hal tadi. Terutama
tentang rencana dan ide-idemu itu. Jangan dimatikan, kamu pacu terus.”
Aku meringis, “Iya, Yang, nanti saya mulai nulis lagi deh. Dulu tiap
hari nulis, sampai di rumah ada berjilid-jilid buku harian dari SMA.”
“Iya, bagus itu. Biar kamu nggak lupa sama pemikiran-pemikiranmu.”
“Gitu ya, iya sih, Yang. Ya udah habis ini saya mulai rajin nulis
buku harian lagi. Kebetulan saya punya buku harian dikasih sama temen.”
“Bagus itu.”
TENG! Oke, sudah saatnya aku mulai nulis buku harian lagi. Setelah
sekian lama. Kenapa aku sempat berhenti? Karena ketika aku kembali membaca buku
harianku yang dulu, aku merasa malu dan geli mengingat betapa alay, betapa aku
pernah sangat muda, berkobar, dan sangat egois. Hal itu membuatku malu. Kadang
ada kalanya kita tak ingin lagi mengingat suatu kisah yang terjadi dalam hidup
kita, lalu ketika kamu membaca buku harianmu, kamu akan mengingatnya dengan perasaan
campur aduk. Hanya saja setelah malam ini aku harus kembali menjadi manusia
penulis buku harian. Makasih Eyang Toto.
Welcome back: "Dear Diary".
0 komentar: