Scarlett O’Hara

04.44 Titi Setiyoningsih 0 Comments



Bulan kemarin ada tiga buku yang ku baca yakni, Agama Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono, Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma, dan Scarlett  karya Alexandra Ripley. Dari ketiganya, Scarlett adalah novel yang pengin banget ku bahas. Sangking ngebetnya baca, novel setebal 800 halaman lebih ini ku lahap hanya dalam waktu 5 hari. Jadi selama liburan ada sekitar 5-7 jam per hari mantengin buku yang mirip-mirip bantal ini. Oke, lebih tepatnya antara ngebet baca atau kurang kerjaan.
Sacrlett  merupakan sekuel Gone with The Wind karya Margareth Mitchell. Bagi yang sudah membaca atau menonton Gone with The Wind pasti ingat di akhir cerita Rhett memilih pergi meninggalkan Scarlett. Pada saat itu pula Scarlett sadar akan kenaifannya, gadis itu sebenarnya sangat mencintai suaminya sendiri, Rhett Butler. Nah, novel Scarlett yang berakhir bahagia bisa diibaratkan semacam obat sakit hati untuk para penikmat Gone with The Wind. Novel yang berjudul sama dengan nama tokoh utamanya, Scarlett, bercerita mengenai perjuangan Scarlett O’Hara mendapatkan kembali sang suami sekaligus tanah leluhur O’hara hingga ia menemukan jati dirinya.
Banyak hal yang berubah dalam diri Scarlett, terutama karakternya yang jauh berbeda antara Scarlett di Gone with The Wind dan Scarlett di Scarlett. Scarlett dalam Gone with The Wind adalah seorang gadis cantik pujaan para laki-laki, sosok manja, egois, pendengki, kekanakan, pelanggar norma, dan gila akan pesta. Scarlett termasuk jenis orang yang tahu cara membuat dirinya dicintai namun tidak tahu cara mencintai. Sedangkan sifat baiknya, dia tipe perempuan pekerja keras, bahkan kemampuannya dalam bekerja melebihi sebagian para laki-laki, terutama menyangkut bisnis. Satu lagi sifat Scarlett yang bagi saya menarik, dia sama sekali tidak peduli dengan semua omong kosong orang-orang di sekitarnya. Karakter Scarlett yang tanpa basa-basi seperti ini tentu saja membuat para wanita di sekelilingnya sering bergunjing tentang dirinya. Scarlett dianggap perempuan tidak tahu malu, tidak tahu sopan santun, pembangkang, penentang adat, penghianat, penggoda suami orang, dan label mengerikan lainnya. Amerika bagian selatan pada masa perang saudara memang belum ada aturan kesetaraan gender, perilaku Scarlett yang terlalu bebas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, tentu saja menjadi bahan olok-olok para wanita. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, Scarlett sama sekali tidak peduli hingga akhirnya ia dikucilkan oleh masyarakat sekitar.
Dalam novel Scarlett, sosok Scarlett mengalami perubahan karakter yang cukup kentara. Hal ini bermula saat ia mulai putus asa dengan Rhett dan memutuskan untuk berkunjung ke rumah kakeknya di Savannah. Di kota itu Scarlett mulai mengerti asal sifat lembut dan anggun mendiang ibunya. Kakek Robillard, ayah dari ibunya, merupakan laki-laki kaya raya, terhormat, yang menerapkan banyak aturan di rumahnya. Pantas saja mendiang ibunya begitu anggun dan bersikap seperti perempuan dewasa seutuhnya. Sejak dulu memang Scarlett merasa iri dan bertanya-tanya mengapa mendiang ibunya bisa begitu lembut, anggun, terhormat, dan penuh kasih bak malaikat sedangkan dirinya tidak? Lalu suatu hari Scarlett bertemu dengan keluarga garis keturunan ayahnya, para O’hara, di Savannah. Dari mereka Scarlett akhirnya menemukan sebab segala sikap dan sifat dirinya yang selama ini menjadi bahan gunjingan masyarakat. Ya, karakter Scarlett yang berapi-api dan loyal rupanya merupakan warisan dari keluarga O’Hara. Ini kali pertama Scarlett merasa diterima dan bahagia menjadi diri sendiri, bersama mereka Scarlett benar-benar menikmati hidup tanpa harus takut dihakimi. Ia menjadi pribadi yang telah mengenal akan jati dirinya.
Tanpa disadari saat di Savannah Scarlett berjalan menuju akar dirinya. Selain itu perubahan karakter Scarlett juga dipengaruhi oleh tanggung jawab yang harus diemban dan banyaknya masalah yang datang silih berganti. Saat di Irlandia Scarlett mendapat surat perceraian dari suaminya, dikabarkan pula Rhett telah menikahi seorang gadis baik-baik. Scarlett benar-benar hancur saat itu, apalagi tanpa sepengetahuan Rhett ia tengah mengandung anak mereka.
Setelah mendapat surat perceraian dari sang suami ia mengakui bahwa ini merupakan salahnya sendiri. Ini memang kali pertama Scarlett tidak menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidunya. Scarlett pun memutuskan untuk merawat anaknya seorang diri. Ia membeli tanah leluhurnya di Irlandia dan diangkat menjadi seorang pemimpin kaum O’Hara. Kewajiban menjadi pemimpin sekaligus seorang ibu membuat cara berpikir Scarlett lebih matang dan penuh kasih. Kelahiran anaknya mengajarkan Scarlett cara mencurahkan kasih sayang, ia akhirnya tahu caranya mencintai orang selain dirinya. Suatu perubahan yang signifikan mengingat Scarlett yang dulu sangat membenci anak kecil, bahkan kedua anaknya sendiri sering tak ia perhatikan.
Selain itu, kedudukannya sebagai seorang pemimpin membuatnya belajar untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri. Ia belajar berbagi, mengalah, berkompromi, dan hidup untuk orang lain. Seperti yang ia lakukan untuk kaumnya, saat terjadi bencana gagal panen, ia membagikan sembako untuk kaumnya supaya tak kelaparan. Hingga suatu ketika Scarlett tahu ini saatnya ia harus merelakan Rhett. Sikap semacam itu tentu sangat berbeda dengan Scarlett yang dulu, yang melakukan segala cara agar bisa mendapatkan Ashley meskipun laki-laki itu merupakan suami adik iparnya sendiri. Kini Scarlett tahu dirinya sangat mencintai Rhett dan ia belajar mencintai dengan cara melepaskan Rhett.
Perlu diingat, Scarlett tetaplah Scarlett, ia tetap seorang perempuan yang energik, pekerja keras, blak-blakan, tangkas, dan cerdas. Hal inilah yang membuat para laki-laki takluk padanya yang seorang janda beranak satu dengan usia kepala tiga. Bedanya, kalau dulu ia akan menyambut semua laki-laki yang mendekatinya, sekarang ia selektif dan lebih mementingkan anaknya.
Kehidupan Scarlett tak ubahnya seperti perjalanan seseorang menuju kedewasaan. Untuk menjadi bijak, Scarlett harus mau menempuh perjalanan. Perjalanan menuju dirinya sendiri dan perjalan ke luar dirinya. Dengan begitu Scarlett lebih mengenal jati dirinya sekaligus mengenal lingkungan di luar dirinya. Apabila kedua perjalanan itu seimbang, didapatlah banyak kacamata baru, berbagai sudut pandang baru, yang menjadikan Scarlett lebih bijak dalam beberapa hal. Pilihannya untuk menerima lamaran bangsawan Inggris bagi saya juga salah satu bukti bahwa Scarlett belum sepenuhnya bijaksana, rupanya masih jauh perjalanan hidup yang mesti ditempuh untuk menjadi lebih bijak.
Akhirnya, meskipun novel Scarlett merupakan lanjutan dari Gone with The Wind namun rasanya aneh ketika tahu kedua novel tersebut karya dari orang yang berbeda. Seperti yang sudah disebutkan di awal, novel Scarlett seperti obat sakit hati bagi mereka yang merasa kecewa dengan akhir Gone with The Wind. Jadi, kebahagiaan setelah membaca Scarlett  terasa kurang nyata karena kemunculan novel tersebut kesannya juga agak dipaksakan.

0 komentar: