Bermalam di Nusa Penida
Ini kali kedua saya
ke Bali, tapi menyeberang ke Nusa Penida merupakan pengalaman yang pertama
kali. Sebuah perjalanan gila yang tak terencana dengan baik.
Sebelumnya saya pernah ke Bali pada acara study
tour SMA tahun 2009. Bali yang saya lihat saat SMA dengan Bali pada
kunjungan kedua saya sangatlah berbeda. Saya kira semua orang juga mengalami
hal semacam ini: cara pandang kita pada suatu hal akan berbeda seiring
bergantinya waktu, semakin bertambahnya usia dan pengalaman semakin banyak pula
kacamata –sudut pandang– yang kita dapat. Saat masih siswa SMA, saya memandang
Bali sebagai suatu euforia, sebuah pesta, penuh dengan letupan dan perasaan
yang meledak-ledak. Sedangkan Bali di awal bulan April 2017 justru terasa
begitu mendamaikan.
Hari kedua di Bali (2 April 2017), jam 08.30 WITA saya
dan keenam teman saya sudah di kawasan Pelabuhan Padang Bai. Sebelumnya kami
berangkat dari Kuta sekitar jam 07.30 WITA. Sebelum masuk ke pelabuhan akan ada
pemeriksaan surat-surat seperti STNK, SIM, dan KTP setiap pengunjung, jadi
selalu pastikan semua ada di dalam
dompet. Hanya ada dua jadwal penyeberangan menuju Nusa Penida dari Padang Bai
yakni jam 09.00 dan 13.00 tapi beberapa orang bilang hanya ada satu pemberangkatan.
Waktu itu saya dan keenam teman saya berlari sepanjang pelabuhan demi
mengejar kapal feri yang hendak berangkat. Untuk menyeberang ke Nusa Penida per
orang dikenakan biaya Rp 31.000. Mobil kami titipkan di pelabuhan karena kalau
mobil ikut menyeberang harus menambah Rp 280.000. Nah, berarti akan lebih
hemat kalau menyewa mobil di Nusa Penida.
Pulau Bali semakin jauh di mata dan lautan tampak biru
cerah berkilauan ditimpa cahaya. Feri penuh dengan turis dan beberapa penduduk
lokal. Butuh waktu sekitar 90 menit untuk sampai di pelabuhan Nusa Penida. Nah,
saat di Padang Bai tadi kami sudah memesan mobil sewaan lewat jasa seorang pemandu.
Waktu kami sampai di Nusa Penida, seorang laki-laki berperut tambun langsung
menghampiri kami. Lalu katanya dengan logat Bali, “Rombongannya Kaleb ini?”
Laki-laki itu memperkenalkan diri dengan nama Wayan,
kami memanggilnya Pak Wayan. Sebelum menyepakati harga, kami tawar-menawar
dulu. Baru setelah itu didapatlah harga “khusus mahasiswa”. Beruntung kami memilih
tidak membawa mobil sendiri, akses ke beberapa tempat tujuan belum begitu bagus
dan medannya terbilang susah untuk mobil. Pak Wayan beberapa kali seolah sedang
bermanuver di jalan berbatu. Sekilas tentang Pak Wayan, beliau orangnya
blak-blakan, baik, berpengetahuan luas, dan lucu. Tentu saja sikap seperti itu
diperlukan oleh para pemandu wisata supaya bisnisnya lancar.
Broken Beach |
Uni dari Padang rancak |
Hari itu kami
ke Crystal Bay Beach, Broken Beach, dan
Angel’s Billabong. Kami sempat heran dengan nama-nama pantai yang terdengar
kebarat-baratan itu. Pak Wayang bilang itu karena yang mempopulerkan
tempat-tempat tadi adalah para turis mancanegara. Pak Wayan juga berbaik hati
mengantarkan kami ke tempat makan siang yang super murah meriah di Nusa Penida.
Kami membeli nasi bungkus di sebuah warung kecil milik penduduk. Sambil
menunggu makanan, aku melihat-lihat daerah sekitar. Suasananya benar-benar khas
pedesaan Bali yang tenang. Dupa yang dibakar di dekat pura, pohon raksasa yang
diikat kain kotak-kotak hitam putih, lalu di bawahnya ada sebuah gubuk panggung tak
berdinding tempat para laki-laki sedang berkumpul. Mereka hanya mengenakan
celana, tanpa kaos, asik berkerumun di atas panggung gubuk. Mungkin mereka sedang
bermain judi. Pemandangan seperti itu pernah ku jumpai di dalam novel atau
cerpen karangan sastrawan Bali, tapi saat di Nusa Penida aku melihatnya sendiri
dan sempat terpesona. Bahkan saat menulisnya aku merasakan kembali kedamaian dan
perasaan berkabut. Entah perasaan apa, aku menikmati benar suasana pedesaan
yang seolah tak terjangkau oleh kemajuan IPTEK itu.
Sepanjang perjalanan hanya ada hutan, padang rumput,
dan lahan perkebunan. Sesekali kami melihat kumpulan rumah warga, gedung sekolah dasar, dan pura. Hujan turun deras waktu kami hendak ke Pantai Kelingking.
Matahari juga cepat sekali menghilang. Gelap, sepi, dan menakutkan. Kami
memutuskan untuk kembali ke sekitar pelabuhan, namun tak diduga Pak Wayan menawari
kami penginapan di rumahnya dengan harga sangat-sangat-sangat miring. Tentu
saja kami langsung mengiyakan. Malam itu kami makan bersama di teras rumah Pak
Wayan. Kami makan dengan menu sayur kacang, ikan bandeng, dan masakan ikan laut
dari istri Pak Wayan. Saya justru merasa ini lebih mirip KKN ketimbang sedang
berwisata. Sebelum terlelap saya semakin merasa seolah sedang tidur di rumah
saudara jauh.
Sarapan di teras rumah Pak Wayan |
Esok paginya suasana khas Bali lebih kentara. Bau dupa
menyengat dari setiap rumah warga. Ibu-ibu mulai sibuk ke sana ke mari,
anak-anak bersiap pergi ke sekolah, anjing-anjing mulai berkeliaran, tanah
masih basah dan bunga-bunga kamboja jatuh berguguran karena hujan semalam.
Indah sekali arsitek rumah-rumah orang Bali dengan ukiran di sana-sini, lalu
ada gapura di setiap rumah penduduknya. Pagi itu kami makan nasi bungkus campur
ikan asin lagi. Kami tak bisa lama-lama karena Pak Wayan ada kegiatan lain hari
itu. Setelah kami membujuknya semalam, Pak Wayan mau mengantar kami ke Pantai
Atuh yang satu kawasan dengan Pantai Kelingking.
Menatap Pantai Kelingking |
Pantai Atuh |
Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Panas
menyengat, haus, dan capek. Seharusnya kami membawa air minum saat melintasi jalanan
yang naik turun itu. Namun segalanya terbayarkan oleh pemandangan berupa pantai jernih,
karang di tengah laut, pasir putih, dan tebing-tebing. Belum puas rasanya, tapi
kami harus mengejar jam keberangkatan kapal feri untuk kembali ke Bali.
Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan Nusa Penida, saya tersenyum melihat indahnya
pemandangan sekitar, pulau Bali tampak hijau kebiruan di tengah lautan. Terdengar
burung-burung berkicau berpadu riuh suara para laki-laki yang sedang panik karena
sinyal membuat mereka tak bisa menghubungi pacar masing-masing.
Jam 14.00 kapal kami baru bertolak dari Nusa Penida. Harga
tiket per orang Rp 31.000, jadi biaya naik kapal pp Bali-Nusa Penida per orang yakni Rp
62.000. Kami melepas lelah di bangku kapal sembari menikmati semilir angin dan
lautan luas yang mengharu biru. Ada dua penduduk lokal hendak menangkap ikan
dengan senar superpanjang. Beberapa penumpang bersorak saat ikan tampak telah
memakan dan termakan umpan. Gerimis kembali turun ketika kami tiba di Bali.
Malam itu kami makan di restoran yang terletak di sepanjang Pantai Jimbaran. Kami
lelah, tapi kami lebih merasa bersemangat karena besoknya masih akan
berkeliling di Bali.
Makan malam di Jimbaran, betapa gosongnya kami |
0 komentar: