Perspektif Kebenaran
Bridge to Spies (2015), film yang disutradarai oleh Steven Spielberg, mengingatkan saya tentang pertanyaan makna kebenaran. Film ini diangkat dari kisah nyata pada masa perang dingin Amerika dan Soviet. Tentang seorang pengacara Amerika, James B. Donovan (Tom Hanks), yang mendapat tugas untuk membela seorang mata-mata Soviet bernama Rudolf Abel (Mark Rylanve). Sebelumnya Rudolf ditangkap oleh pihak Amerika dan diberi dua pilihan. Pertama, bila Rudolf mau bekerjasama untuk pihak Amerika ia akan dibebaskan dari hukuman dan mendapatkan imbalan. Kedua, jika dia menolak tawaran pertama tadi dia akan diadili dan kemungkingkan besar dihukum mati. Rudolf pun memilih untuk diadili ketimbang harus menghianati negaranya. Bisa ditebak pengadilan Amerika menangani kasus Rudolf hanya sebagai formalitas saja. Bahkan sejak awal sang hakim sudah bersikap tidak obyektif, apa pun pembelaan Rudolf rakyat Amerika tentu menganggap mata-mata Soviet pantas dihukum mati. Donovan yang ditunjuk sebagai pengacara Rudolf tentu mengadapi tekanan batin sekaligus sosial. Donovan ingin bekerja secara profesional sebagai seorang pengacara tapi konsekuensinya masyarakat Amerika akan menuduhnya sebagai seorang penghianat. Bahkan ketika agen CIA berusaha mencari informasi Rudolf kepada Donovan, pengacara itu tetap kukuh untuk tak membeberkan hasil percakapannya dengan si client. Dari sinilah awal mula konflik yang terjadi dalam film.
Muncul suatu
pertanyaan akan sikap yang diambil oleh Rudolf dan Donovan: salahkah pilihan
mereka? Mereka dibenci rakyat Amerika kerena Rudolf yang ingin setia pada
negaranya dan Donovan yang ingin bersikap obyektif dan profesional menjalankan
tugasnya. Misalnya saja kita sebagai rakyat Indonesia mendapat berita seorang
mata-mata negara tetangga ditangkap oleh badan intel negara. Mata-mata negara
tetangga itu menolak bekerja sama dan tetap memilih tidak membocorkan rahasia
negaranya. Lalu apa yang muncul dalam benak setiap warga Indonesia? Mata-mata
negara tetangga dianggap bersalah karena tidak mau membocorkan informasi
negaranya? Pengacara asal Indonesia yang membela mata-mata dianggap penghianat?
Akankah pengadilan negara kita bersikap adil? Lalu di berbagai media
sosial akan ada banyak status dan komentar nyinyir tentang negara tetangga, si
mata-mata, dan sang pengacara tadi. Saya juga tidak menjamin diri saya akan
bijak menanggapi kasus tersebut. Saya bisa membayangkan hal pertama yang saya rasakan
jika mendapat berita tadi adalah geram dengan negara tetangga, muak dengan
mata-mata negara tetangga yang tertangkap itu, juga muak dengan pengacacara
yang mati-matian membela si mata-mata. Salahkah saya?
Tengoklah para
tokoh cerita wayang kita, di antaranya ada Kumbakarna (Ramayana) dan Bhisma
(Mahabarata). Sejak awal Kumbakarna tahu bahwa yang dilakukan oleh kakaknya
(Rahwana) salah tapi ia tetap maju ke medan perang melawan kubu Rama. Salahkah
Kumbakarna? Ia maju ke medan perang untuk membela tanah airnya dan kaumnya. Lalu
Bhisma yang memilih berada di pihak Kurawa dalam perang Baratayudha. Ada juga
Karna yang tetap mengabdi kepada Duryudana, sahabat yang selama ini memberikannya
perlindungan dan penghidupan. Masihkah kita menganggap para tokoh tadi sebagai
sosok, katakanlah “musuh kebaikan”? Lalu apakah yang dilakukan Wibisana bisa
dianggap benar? Ia berperang melawan negaranya sendiri. Sedangkan ia hidup, tumbuh,
makan dan minum dari tanah negaranya. Kita kembali ke tokoh Rudolf. Apabila dia memilih bekerjasama
dengan Amerika dan itu berarti menghianati negaranya lalu keputusannya itu
dianggap benar? Benar menurut siapa? Jika salah, salah menurut siapa? Adakah
salah atau benar dapat diketahui dengan pasti dalam kerumitan hidup manusia?
Lalu apa hak kita untuk memberikan bermacam label pada sesama manusia? Toh
sama-sama manusia, kecuali kalau….
0 komentar: