CERPEN
Nama Tokoh
Oleh Titi
Setiyoningsih
Gelapnya kamar membuat
cahaya remang dari lampu baca terlihat seperti lampu sorot dalam sebuah
pertunjukkan di gedung teater. Berlatar sebuah dipan kayu jati dengan kasur
bersprei putih, tokoh perempuan duduk bersandar pada bantal dengan sebuah buku
di pangkuan. Perut buncitnya terbungkus gaun malam merah marun tanpa lengan.
Kontras sekali dengan warna lama sprei yang putih kekuningan. Masih dalam
jangkauan sorot lampu baca, koran-koran berserak di sisi tempat suaminya biasa
berbaring. Tapi suaminya masih asik menulis kibul-kibulan di ruang kerja
meskipun malam telah semakin menua.
1.
Sepulang dari kantor,
perempuan itu mampir terlebih dulu ke sebuah toko buku. Perhatian para
pengunjung tersedot saat dirinya memasuki toko. Hak tinggi sepatu coklatnya
berkertak-kertak pada permukaan lantai. Ia mengenakan setelan kemeja putih yang
dibalut dengan jas tipis krem, menyandang tas kulit hitam pada bahu. Rambut
lurusnya dipotong sepangkal leher dengan model bob tanpa poni. Lebih dari itu
semua, orang-orang manatap ngeri perut buncit yang berpadu dengan hak sepatu
setinggi 6 cm. Tapi perempuan itu tampak tak peduli. Ia tetap berjalan lurus.
Bahunya tegap dengan kepala terkesan mendongak.
Dari
pengeras suara toko mengalun Scherzo-nya Krzysztof Jablonski. Perempuan itu
berdiri di depan dinding rak kaca khusus majalah dan koran. Matanya menyapu
deretan koran, diambilnya salah satu koran nasional edisi Minggu kemarin. Ia
membuka-buka koran itu dan menemukan nama suaminya ada di rubrik kibulan. Ketemu! serunya dalam hati.
2.
Alina. Nama tokoh itu
kembali muncul dalam kibulan karya suaminya. Siapa pun yang pernah membaca
kibulan laki-laki itu akan menganggap tokoh wanita bernama Alina benar-benar
ada di dunia nyata. Sosok Alina digambarkan memiliki gagasan dan pandangan
hidup yang berbeda dari perempuan kebanyakan. Selain cerdas, Alina dalam
kibulan suaminya memiliki kecantikan alami. Seorang perempuan dengan rambut
panjang tergerai dan bergelombang indah, lekuk bibirnya sempurna, dan binar
pada sepasang matanya dilukiskan sangatlah indah.
Setelah
membaca kibulan suaminya di koran yang ia beli sore tadi, mendadak terbayang
olehnya kisah The Great Gatsby karya
F. Scott Fitzgerald. Baru tiga hari yang lalu ia membaca novel itu, lalu
besoknya tokoh Alina kembali muncul dalam karya suaminya. Mungkinkah ini
semacam pertanda bahwa hidup rumah tangganya akan seperti kisah novel itu?
Dalam kasus ini dirinya adalah Daisy, perempuan naif bersuamikan Tom Bucahanan
yang diam-diam berselingkuh dengan tokoh Myrtle. Seperti baru teringat sesuatu,
perempuan itu menggeleng kuat. Tentu saja ia tidak memiliki kekasih gelap
seterang Jay Gatsby.
3.
Ia masih berlabel
mahasiswa saat bertemu dengan laki-laki itu. Waktu itu ia bertugas sebagai koordinator
bagian acara seminar kepenulisan yang diadakan oleh himpunan mahasiswa program
studi. Panitia seminar memang sudah lama mengincar penulis kibulan itu sebagai
pembicara. Selain karena laki-laki itu merupakan dosen bidang kenepulisan
kibul-kibulan, tulisan laki-laki itu juga sudah dikenal hingga tingkat
internasional.
Sebagai
koordinator acara dan pengisi seminar, mereka berdua menjadi sering
berinteraksi sepanjang acara berlangsung. Dan rupanya interaksi mereka tetap
terjalin meskipun seminar telah lama berakhir. Hubungan mereka bermula dari
antara seorang penulis dan penggemar hingga lambat laun beralih menjadi
hubungan layaknya antara seorang perempuan dan seorang laki-laki.
Saat
melamarnya, laki-laki itu telah berusia tiga puluh tiga tahun sedangkan umurnya
sendiri baru akan dua puluh dua tahun. Satu bulan sebelum tanggal pernikahan
mereka, ia menemukan kibulan calon suaminya di koran Minggu. Bercerita mengenai
perpisahan tokoh Aku dengan Alina di stasiun kota. Dikisahkan tokoh Aku memilih
menikah dengan perempuan lain karena Alina selalu menolak lamarannya. Tak ingin
melihat kekasihnya menikah dengan perempuan lain, Alina memutuskan untuk pergi
meninggalkan kota itu beserta kenangannya dengan tokoh Aku.
Bagaimana
pun sebelum bertemu dengannya, laki-laki itu sudah sering menggunakan tokoh
Alina dalam kibulan yang bernuansa romantisme sendu. Tapi sejak tulisan di
koran Minggu satu bulan sebelum tanggal pernikahan mereka, ia tak pernah lagi
mendapati suaminya menggunakan tokoh Alina. Hingga kemarin, sepuluh tahun
kemudian, nama itu kembali dimunculkan oleh suaminya.
Bagaimana
mungkin perempuan itu tidak menaruh curiga. Dalam kibulan suaminya, diceritakan
setelah sepuluh tahun berpisah tokoh Aku bertemu kembali dengan Alina tepat di
stasiun kota tempat mereka terakhir bertemu. Tokoh Aku dalam cerita mengakui
bahwa Alina masih saja memesona meskipun satu dekade telah berlalu. Dalam
pertemuan penuh rindu, kedua tokoh itu berjanji akan bertemu setiap minggu
untuk menelusuri kota dan seluruh kenangan mereka. Diungkapkan tokoh Aku dan
Alina masih sama-sama mencintai meskipun masing-masing tak lagi mau mengakui.
4.
“Menurut Mbah Wellek
Warren, hubungan karya dan hidup pengarang tidak dapat dijelaskan dengan
pertalian sebab-akibat yang sederhana!” kata suara berat dari ujung telepon.
Perempuan
itu menggumam tak jelas. Mungkin temannya itu lupa kalau Wellek Warren juga
pernah menyinggung istilah Goethe, tentang penyair yang memandang karyanya
sebagai serpihan dari pengakuan yang mendalam. Fragments of a great confession.
“Dengar
ya,” ujar suara berat itu lagi. Tangan perempuan itu segera memindahkan gagang
telepon ke telinga kiri bersiap mendengar ocehan teman lamanya itu.
Suara
berat melanjutkan, “kita pernah membahas ini saat masih kuliah. Masih ingat
tokoh khayalan di film Beautiful Mind,
kan? Ya seperti itulah tokoh wanita karangan suamimu. Wanita itu jelas tidak
ada di dunia nyata, dia hanya ada dalam pikiran suamimu. Bahkan Freud
berpendapat jika seniman asal mulanya adalah seseorang yang lari dari kenyataan
ketika untuk pertama kalinya ia tidak dapat memenuhi tuntutan untuk menyangkal
pemuasan insting. Kemudian dalam kehidupan fantasinya ia memuaskan keinginan
erotik dan ambisinya.”
“Tapi
menurut Jung, ada pengarang yang menunjukkan tipe aslinya melalui
tulisan-tulisannya,” kata perempuan itu mengingatkan.
“Dan
ada yang justru menampilkan antitipenya, tipe pelengkap yang kontras dengan
kepribadiannya,” sergah suara berat. “Ngomong-ngomong kita pernah membahas ini
sepuluh tahun yang lalu. Apa setelah ini kita akan berdebat tentang Layar Terkembang dan Belenggu?”
Perempuan
itu tersenyum mengingat perdebatan-perdebatan mereka saat masih di bangku
kuliah. Rasanya baru kemarin sore mereka berdebat tentang kedua novel itu. Berbeda
dengan temannya, perempuan itu sangat mengagumi cerita Layar Terkembang. Sedangkan temannya menganggap Layar Terkembang sebagai sebuah karya
feminisme yang gagal. Oleh karenanya temannya itu lebih menyukai Belenggu karya Armijn Pane. Bahkan dalam
kehidupan nyata, kisah mereka masing-masing tak jauh berbeda dari novel yang diunggulkan.
“Kenapa
mendadak kamu jadi sentimentil begini? Apa ini ada hubugannya dengan kehamilan
keduamu?” tanya suara berat itu.
“Dari
dulu aku merasa Alina benar-benar nyata. Dan sekarang dia telah kembali. Aku
harus mencari tahu.”
“Setelah
kamu tahu, lalu apa? Tidak penting bagimu apakah Alina itu nyata atau tidak. Ku
peringatakan sekali lagi, jangan pernah menanyakan sesuatu yang kamu sendiri
tidak ingin mendengar jawabannya.”
Perempuan
itu mendesah putus asa.
“Kamu
telah melakukan dua kesalahan dalam hidupmu. Kamu tahu apa itu?” tanya si
pemilik suara berat.
***
Malam
benar-benar telah menua. Namun tidak ada tanda-tanda suaminya akan beranjak
dari meja kerjanya. Perempuan itu meletakkan buku yang baru saja ia baca di
atas nakas. Matanya kembali menatap nanar koran yang masih berserakan di atas
kasur. Dalam hati ia mengakui yang dikatakan temannya itu memang benar.
Dengan
cekatan ia membereskan koran itu, lalu ditumpuknya dengan buku tadi di atas
nakas. Kemudian ia kembali berbaring di atas kasur bersprei putih kekuningan.
Setelah mengelus perut buncitnya, ia mematikan lampu baca untuk segera mencoba
terlelap. Besok ia harus bangun pagi-pagi seperti biasanya. Menyiapkan sarapan,
memandikan anaknya, menyiapkan pakaian untuk suaminya, dan mengantarkan anaknya ke sekolah sebelum
berangkat ke kantor. Dan lagi, besok ada rapat terbatas setelah jam kantor.
Belum jadwal rutinnya dengan dokter kandungan.
Sebelum
benar-benar tertidur, masih terngiang jelas suara berat dalam telepon.
“Kesalahanmu
yang pertama adalah kamu menikah. Dan kesalahan keduamu, kamu menikah dengan
seorang penulis.”
***
Banjarnegara,
19 Mei 2015.